Puisi ws rendra


PUISI WS RENDRA - TAHANAN
Atas ranjang batu
tubuhnya panjang
bukit barisan tanpa bulan
kabur dan liat
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong
jantung matanya
para pemuda bertangan merah
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes
lewat mimpi
darah di cawan tembikar
dijelmakan satu senyum
barat di perut gunung
(Para pemuda bertangan merah
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi
di luar dirinya
Anak lonceng
menggeliat enam kali
di perut ibunya
Mendadak
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya
dan berkata
-He, pemberontak
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo
ia meludah
tapi tak dikatakannya
-Semalam kucicip sudah
betapa lezatnya madu darah.
Dan tak pernah didengarnya
enam pucuk senapan
meletus bersama


Puisi ws rendra

PUISI WS RENDRA - GUGUR

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
ketika menutup matanya


Ia merangkak
Bagai harimau tua
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
Ia merangkak
Orang tua itu kembali berkata :
Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam

puisi patah hati



Puisi: Embun yang Tak Berdaya



Aku memang bukan siapa-siapa

Diriku ?
Hanya setetes embun yang menyeruak tak berdaya
Hatiku ?
Hanya sebuah kalbu yang tak mampu berkata
Tapiii..
Tangisanku mengajarkan pentingnya air mata itu.
Dimana hawa sengsara akan ku usir
Tanpa setetes air mata

Semangat yang dulu pudar
Membuat ku semakin percaya
Bahwa takdir itu benar ada
Dan itu pasti selalu ada
Hasrat membangkitkanku
Tentang sebuah takdir yang mustahil berhembus kepadaku
Hingga akan membuat desir di padang pasir yang tandus
Untukku dan untuk yang menyayangiku

sajak hitam


Sajak Hitam Part 1

Aku datang dari kegelapan
Diantara dinginnya malam
Aku menjaga setiap rahasia-rahasia keagungan dan kemunafikan
kebohongan dan pengkhianatan

Aku datang dari kegelapan
Dalam setiap malam kelam
Yang tenggelamkan kebahagiaan diatas kesedihan
Dimana mimpi tak lagi sebagai hiasan disaat mata terpejam

Aku datang dari kegelapan
Hitamku masih berselimut cerita terkelam yang datang bersama kepedihan
Aku lepaskan jiwaku yang selama ini terkekang dalam lembah yang suram

Aku datang dari kegelapan
Hampa tanpa impian
Begitu dingin hingga mata tak mampu terpejam


2.
Sajak kelam tak berdawai
Merangkai sebuah kebisuan
Terdiam dalam kehampaan

Sajak kelam tak berdawai
Terbingkai indah di kegelapan
Pada sebuah nisan keabadian

Sajak kelam tak berdawai
Terbentang diantara langit jingga
Diantara kidung kematian

Sajak kelam tak berdawai
Ditepian senja yang menguning
Dihamparan kegundahan hatiku

3
Hitam...?
harumnya wangi layu tersedak,
sesak rasanya tak bercahaya.
Hitam..?
sudahlah...
biarkan saja cahanya merintih,
dan merangkak elok disudut-sudut hitamnya.


hitam dan semakin hitam bayang malam itu
saat langkah yang semakin berat,
entah apa yang disembunyikan
dalam tangis tanpa henti
hitam dan semakin hitam


pandangan mata ini
satu titik putihpun tak terlihat
walau nafas sudah berhenti
memberi celah untuk meratap
hitam dan semakin hitam helaan ini
melenguhkan duka tak berujung
kelelahan dan kepedihan hati
tak juga lerai menampakkan keberanian



4

Terlahir untuk mati
Hidup hanya untuk menanti ajal
Sesaat bersinar terang lalu padam
Bernyawa lalu binasa
Dimana langit?
Dimana matahari?
Aku berlari dan mencari
Menuju sinar redup terang
Aku ingin mati dan binasa
Diantara kelamnya kehidupan
Dalam kegelapan itu
Dalam kepedihan itu

puisi negri ku



Negeri Debu

Duka sebegitu tajam tergores di langit ini,
sayap kupu-kupu tak bisa membawa beban debu,
juga sapu lidi terlalu pendek untuk menyapu.
Sehektar puing yang dititipkan gempa kepadamu,
ini wilayah angin, bisik daun pada
sebutir debu. dan debu itu memang
tak pernah melihat onggokan bukit kapur di sana,
kecuali rumah-rumah yang rebah
ditidurkan angin.
Sebatas mana rentang tanganmu ketika
gelombang memindahkan perahumu ke jalan raya?,
atau ketika langit jadi hitam oleh gerhana,
atau ketika sebuah menara bergeser karena gempa?
Kita akan kembali ke dalam keabadian
melalui liku-liku dalam riset waktu,
tak mudah kita menemukan ujung benang
dalam rajutan alam, tak mudah kita
memintal benang jadi gelas bagi air.

puisi ibu pertiwi


Bangunlah Putra Putri Ibu Pertiwi

Sinar matamu tajam namun ragu,
Kokoh sayapmu semua tahu.
Tegap tubuhmu takkan tergoyahkan,
Kuat jarimu kalau mencengkeram.
Bermacam suku yang berbeda,
Bersatu dalam cengkeramanmu.
Angin genit mengelus merah putihku,
Yang berkibar sedikit malu-malu.
Merah membara tertanam wibawa,
Putihmu suci penuh kharisma.
Pulau-pulau yang berpencar,
Bersatu dalam kibarmu
Terbanglah garudaku,
Singkirkan kutu-kutu di sayapmu oh…..
Berkibarlah benderaku,
Singkirkan benalu di tiangmu.
Jangan ragu dan jangan malu,
Tunjukkan pada dunia,
Bahwa sebenarnya kita mampu.
Mentari pagi sudah membumbung tinggi,
Bangunlah putra putri ibu pertiwi,
Mari mandi dan gosok gigi.
Setelah itu kita berjanji,
Tadi pagi esok hari atau lusa nanti,
Garuda bukan burung perkutut,
Sang saka bukan sandang pembalut
Dan coba kau dengarkan,
Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut,
Yang hanya berisikan harapan,
Yang hanya berisikan khayalan.

puisi kemiskinan

Tembang Pesisir

Istriku, mendekatlah,
Mari bernyanyi, merayakan kemiskinan ini,
Sebentar lagi mungkin kita akan mati.

Musim-musim tak pernah bersahabat dengan kita,
Dan setiap waktu, kita mesti menghitung kelu tanpa jemu,
Lihatlah laut biru yang terbentang, ikan-ikan yang berenang.
Kita tak lagi bisa menangkapnya sebab perahu kita tertambat di dermaga,
Hanya jadi mainan anak-anak ombak,
Tak bisa melancar, tak bisa bergerak tanpa bahan bakar.


Duhai, nasib kita istriku,
Serupa butir-butir pasir sepanjang pesisir,
Harus selalu menghadapi amuk gelombang yang datang,
Sementara dari selat dan tanjung maut tak berhenti mengintip, siap mendekat.

Istriku, mendekatlah,
Mari bernyanyi sebelum maut menjemput,
Membenamkan jasad kita yang malang pada hitam tanah dan bebatuan.
Like us on Facebook
@bangkitprakoso
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS